Karakter Nabi
Allah SWT menuturkan
karakter kekasih-Nya, Muhammad saw. dalam al-Qur’an, surat at-Taubah:
لَقَدْ جَاءَكُمْ
رَسُوْلٌ مِنْ أَنْفُسِكُمْ عَزِيْزٌ عَلَيْهِمَا عَنِتُّمْ حَرِيْصٌ عَلَيْكُمْ بِالْمُؤْمِنِيْنَ
رَؤُوْفٌ رَحِيْمٌ [سورة التوبة: 128]
“Sungguh telah datang
kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu,
sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi
penyayang terhadap orang-orang mukmin.” (Q.s. at-Taubah [09]: 128)
Sifatnya yang ra’uf (penuh
kasih) dan rahim (penyayang) membuatnya tak kuasa untuk
melihat dan mendengar penderitaan yang dialami oleh umat dan rakyatnya. Sampai
Allah menggambarkan, ‘Aziz[un] ‘alaihima ‘anittum (berat
terasa olehnya penderitaanmu). Tak hanya itu, Nabi pun sangat berambisi untuk
menjadikan umat dan rakyatnya menjadi orang beriman dan selamat dunia-akhirat.
Itulah sifat Rasulullah, Muhammad saw..
Sifat ini tidak lahir
dengan sendirinya, tetapi ditempa oleh keadaan dan waktu. Nabi lahir sebagai
anak yatim setelah ditinggal mati ayahandanya, Abdullah, ketika ibundanya
mengandungnya enam bulan. Nabi lahir dari keluarga miskin, hingga ibundanya tak
mampu memberikan imbalan kepada Halimah as-Sa’adiyyah, wanita yang menyusui
Nabi sejak kecil. Namun, Allah-lah yang menggerakkan hati Halimah untuk
mengambil Nabi saw., merawat, mengasuh, dan menyusuinya. Allah melukiskan itu
dalam Q.s. ad-Dhuha:
أَلَمْ يَجِدْكَ
يَتِيْمًا فَأَوَى، وَوَجَدَكَ ضَالاًّ فَهَدَى، وَوَجَدَكَ عَائِلاً فَأَغْنَى
[سورة الضحى: 6-8]
“Bukankah Dia
mendapatimu sebagai anak yatim, lalu Dia melindungimu? Dan Dia mendapatimu
sebagai orang yang bingung, lalu Dia memberikan petunjuk kepadamu. Dan Dia
mendapatimu sebagai orang yang kekurangan, lalu Dia memberikan
kecukupan.” (Q.s. ad-Dhuha [93]:
6-8)
Perjalanan hidup Nabi
saw. telah diatur oleh Allah SWT, yang kelak mengantarkannya menjadi pemimpin
agung. Allah mengingatkan Nabi:
وَلَسَوْفَ يُعْطِيْكَ
رَبُّكَ فَتَرْضَى [سورة الضحى: 5]
“Kelak, kamu akan diberi anugerah oleh
Tuhanmu, sehingga kamu merasa ridha (senang).” (Q.s. ad-Dhuha [93]: 5)
Konteks ayat ini ada
yang mengatakan terkait dengan anugerah di akhirat, bukan di dunia, seperti
syafaat, surga, dan seluruh keistimewaannya. Tetapi, juga ada yang mengatakan
terkait dengan anugerah di dunia, seperti kenabian, kerasulan, dan
kepemimpinannya atas seluruh umat manusia. Begitulah Rasulullah Muhammad
dididik dan dipersiapkan oleh Allah untuk mengemban misi agung di muka bumi.
Risalah dan
Kepemimpinan Nabi
Yang membedakan
kerasulan Nabi Muhammad saw. dengan Nabi dan Rasul yang lain adalah, bahwa
Muhammad saw. bukan hanya Nabi dan Rasul, tetapi juga seorang pemimpin
masyarakat dan kepala negara. Risalahnya merupakan risalah penutup, sekaligus
menghapus risalah sebelumnya. Karena itu, risalahnya tidak hanya terbatas untuk
bangsa Arab, tetapi seluruh umat manusia. Kepemimpinannya pun tidak hanya
meliputi satu suku dan bangsa, tetapi semua suku dan bangsa.
Al-Bukhari telah
menuturkan dari Ibn ‘Abbas ra. Berkata, “Ketika turun ayat:
وَأَنْذِرْ عَشِيرَتَكَ
الأَقْرَبِينَ [سورة الشعراء: 214]
‘Dan berilah
peringatan kepada keluargamu yang paling dekat.’ (Q.s. as-Syu’ara’ [26]: 214)
Nabi saw. naik ke atas
bukit Shafa, seraya menyeru: ‘Wahai Bani Fihr, wahai Bani ‘Adi.’ Kepada
kabilah-kabilah Quraisy hingga mereka berkumpul. Jika ada yang tidak bisa
hadir, dia akan mengutus utusan untuk melihat apa yang terjadi. Abu Jahal dan
kaum Quraisy pun datang. Baginda saw. bersabda:
«أَرَأَيْتَكُمْ لَوْ أَخْبَرْتُكُمْ أَنَّ
خَيْلاً بِالْوَادِى تُرِيدُ أَنْ تُغِيرَ عَلَيْكُمْ ، أَكُنْتُمْ مُصَدِّقِىَّ »
. قَالُوا نَعَمْ ، مَا جَرَّبْنَا عَلَيْكَ إِلاَّ صِدْقاً . قَالَ « فَإِنِّى
نَذِيرٌ لَكُمْ بَيْنَ يَدَىْ عَذَابٍ شَدِيدٍ »
‘Bagaimana pendapat
kalian, jika kami beritahukan kepada kalian, bahwa ada kuda di telaga itu
hendak menyerang kalian, apakah kalian membenarkan aku?’ Mereka menjawab,
‘Tentu. Kami belum pernah mempunyai pengalaman tentangmu, kecuali jujur.’
Baginda saw. pun bersabda, ‘Sesungguhnya aku adalah pemberi peringatan untuk
kalian di hadapan siksa yang sangat pedih.’”
Dalam riwayat lain,
pidato pertama yang disampaikan baginda Nabi saw. kepada kaum Quraisy sebagai
berikut:
الحمد لله أحمده
وأستعينه، وأومن به وأتوكل عليه، وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له. ثم
قال: إن الرائد لا يكذب أهله. والله الذي لا إله إلا هو، إني رسول الله إليكم خاصة
وإلى الناس عامة [أخرجه ابن الأثير في الكامل فيي التاريخ، ج 1/478]
“Segala puji hanya
milik Allah. Hamba memuji dan meminta pertolongan kepada-Nya. Hamba beriman dan
berserah diri kepada-Nya. Hamba bersaksi, bahwa tiada Tuhan yang berhak
disembah, kecuali Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya.” Lalu bersabda,
“Sesungguhnya seorang pemimpin tidak akan membohongi rakyatnya. Demi Allah,
tiada Tuhan yang berhak disembah, kecuali Dia, sesungguhnya aku adalah utusan
Allah yang secara khusus diutus kepada kalian, dan kepada seluruh umat manusia
secara umum.” (Dikeluarkan
oleh Ibn al-Atsir dalam al-Kamil fi at-Tarikh, juz I/478)
Dari pidato Nabi saw.
yang paling menarik adalah pernyataan baginda saw. yang menyatakan:
إنَّ الرَّائِدَ لاَ
يَكْذِبُ أَهْلَهُ.
“Sesungguhnya
seorang pemimpin tidak akan membohongi rakyatnya.”
“Pemimpin tidak akan membohongi rakyatnya.”
Itulah karakter Nabi saw. sebagai pemimpin, dan karakter kepemimpinan Nabi saw.
Ucapan, tindakan, hati, dan pikirannya dicurahkan demi kemaslahatan rakyatnya,
bukan untuk kepentingan pribadinya. Nabi saw. bahkan mengorbankan kepentingan
diri dan keluarganya, demi kepentingan umat dan rakyatnya.
Ketika Nabi saw.
memilih hidup miskin, bukan karena Nabi saw. tidak bisa mengumpulkan kekayaan,
tetapi karena itulah kehidupan yang dipilih Nabi saw. sebagai seorang pemimpin
agung, sekaligus panutan. Bagaimana mungkin Nabi tidak bisa kaya, sementara
baginda saw. mendapatkan bagian 1/5 dari harta ghanimah (rampasan
perang)?
وَاعْلَمُوْا أَنَّمَا
غَنِمْتُمْ مِنْ شَيْءٍ فَأَنَّ للهِ خُمُسُهُ وَلِلرَّسُوْلِ [سورة الأنفال:
41]
“Ketahuilah,
sesungguhnya apa saja yang menjadi rampasan perang bagi kalian, ada hak Allah
seperlimanya, juga hak Rasulullah..” (Q.s. al-Anfal [08]: 41)
Akan tetapi, Muhammad
saw., manusia luar biasa, yang dipuji karena kesempurnaannya itu, tidak
mengambil haknya untuk memperkaya diri dan keluarganya, tetapi justru lebih
mengutamakan para sahabatnya, Ahl as-Shuffah yang berjumlah
kurang lebih 400 orang.
Bagaimana mungkin Nabi
tidak bisa kaya, sementara malaikat menawarkan seluruh gunung di Makkah
dijadikan emas untuknya. Meskipun demikian, hal tersebut justru ditolak, Nabi
memilih hidup pas-pasan,“Makan sehari, lapar sehari.” Sampai-sampai
al-Bushiri menggubah syair dalam Qasidah Burdah-nya untuk
mengabadikan keagungannya itu:
Nabi yang kerana lapar
mengikat pusarnya dengan batu.
Dan dengan batu mengganjal perutnya yang halus itu.
Dan dengan batu mengganjal perutnya yang halus itu.
Kendati gunung emas
menjulang menawarkan dirinya.
Ia tolak permintaan itu dengan perasaan bangga.
Ia tolak permintaan itu dengan perasaan bangga.
Butuh harta namun
menolak, maka tambah kezuhudannya.
Kendati butuh pada harta tidaklah merusak kesuciannya.
Kendati butuh pada harta tidaklah merusak kesuciannya.
Bagaimana mungkin Nabi
butuh pada dunia.
Padahal tanpa dirinya dunia takkan pernah ada.
Padahal tanpa dirinya dunia takkan pernah ada.
Itulah pilihan hidup
Nabi, yang sengaja dipilih dengan sadar. Bahkan, dalam doanya Nabi menyatakan:
اللهم أحيني مسكينا،
وأمتني مسكينا، واحشرني في زمرة المساكين [رواه ابن ماجة]
“Ya Allah, hidupkanlah
hamba sebagai orang miskin. Wafatkanlah hamba sebagai orang miskin.
Bangkitkanlah hamba bersama orang-orang miskin.” (H.r. Ibn Majjah)
Makna hadits ini
menurut al-Mubarakfuri, “Merendahkan diri dan membutuhkan Allah, untuk
memberikan bimbingan kepada umatnya agar bersikap tawadhu’ dan menjauhi sikap
takabur.”
Kejujuran Lahir Batin
Nabi
Nabi saw. mengajarkan
dan mencontohkan kejujuran. Apa yang tampak itulah lahirnya Nabi. Kesedihan dan
empatinya kepada umat dan rakyatnya bukan dibuat-buat, tetapi menggambarkan isi
hatinya. Cintanya kepada umat dan rakyatnya begitu luar biasa, hingga baginda
saw. pun dicintai oleh mereka. Ambisinya untuk mewujudkan kemaslahatan umat dan
rakyatnya juga tak berhenti hingga detik-detik akhir hayatnya. Itulah rahasia mengapa
Nabi saw. begitu dicintai oleh umatnya.
Dalam sebuah hadits,
Nabi saw. bersabda:
خيار أئمتكم الذين
تحبونهم ويحبونكم، وتدعونهم ويدعونكم، وشرار أئمتكم الذين تبغضونهم ويبغضونكم،
وتلعنوهم ويلعنونكم [رواه مسلم]
“Sebaik-baik pemimpin
kalian adalah yang kalian cintai, dan mereka mencintai kalian. Kalian mendoakan
mereka, dan mereka mendoakan kalian. Seburuk-buruk pemimpin kalian adalah yang
kalian benci, dan mereka pun membenci kalian. Kalian melaknat mereka, dan
mereka pun melaknat kalian.” (H.r. Muslim)
Dicintai rakyatnya,
karena mencintai rakyatnya. Didoakan rakyatnya, karena mendoakan rakyatnya.
Itulah gambaran pemimpin terbaik. Sebaliknya, pemimpin yang terburuk adalah
pemimpin yang dibenci oleh rakyatnya, karena dia pun membenci rakyatnya. Dia
dilaknat oleh rakyatnya, karena dia pun melaknat rakyatnya.
Pemimpin yang dicintai
rakyatnya, karena dia mencintai rakyatnya. Didoakan, karena dia juga mendoakan
mereka. Ini merupakan hubungan timbal balik, meminjam istilah Ibn Katsir, “al-jaza’
jins al-‘amal” (balasan sesuai dengan jenis amalnya). Ini tidak
mungkin terjadi, jika seorang pemimpin ini tidak jujur kepada dirinya, tidak
jujur kepada rakyatnya, dan tidak jujur kepada Rabb-nya. Karena
dicintai merupakan efek timbal balik, maka tidak mungkin seorang pemimpin
dicintai sedemikian rupa, jika dia tidak benar-benar mencintai rakyatnya.
Dengan melayani seluruh kemaslahatan mereka, dengan tulus, tanpa pamrih,
apalagi sekedar citra. Ini membutuhkan kejujuran (ketulusan).
Sebaliknya, pemimpin
yang tidak jujur, pasti tidak akan mendapat simpati, apalagi cinta dari
rakyatnya. Ketidakjujurannya pula yang akan mengantarkannya untuk terus-menerus
menutupi kebohongannya, agar tak terlihat oleh rakyatnya. Akibatnya, dia pun
dipecundangi oleh rakyatnya sendiri. Jika sudah begitu, sang pemimpin pun tidak
segan melaknat rakyatnya sendiri, dan efek timbal baliknya, dia pun dilaknat
oleh rakyatnya sendiri. Inilah pelajaran yang berharga dari jatuh-bangunnya
rezim pembohong di seluruh dunia.
Begitulah Nabi saw.
mengajarkan resep kepemimpinan bagi para pemimpin. Ketika para pemimpin itu
tidak jujur, dia akan membuat kebijakan yang memberatkan rakyatnya. Berbagai
kebohongan pun disusun agar tampak rasional. Dengan alasan penghematan, boros,
APBN defisit, penimbunan, dan sebagainya, BBM dinaikkan. Padahal, senyatanya
kenaikan itu untuk memenuhi nafsu serakah paracukong di
belakangnya. Lebih mengherankan, meski sudah jelas membebani rakyatnya, masih
saja bisa berbohong, bahwa dengan kenaikan BBM akan mengurangi angka
kemiskinan. Padahal, jelas harga sembako baik, tarif angkutan umum naik, dan
inflasi pun tak terelakkan. Pendek kata, rakyat sudah ditindas, dibohongi lagi.
Wajar, jika Nabi saw.
murka terhadap para pemimpin seperti ini, selain disebut sebagai “syarar
aimmatikum” (para pemimpin kalian yang paling buruk), mereka juga
didoakan Nabi:
اللهم من ولي من أمر
أمتي شيئا فشق عليهم فاشقق عليه [رواه أحمد]
“Ya Allah, siapa
saja yang diberi mandat untuk mengurus urusan umatku, lalu dia memberatkannya,
maka beratkanlah dia.” (Hr. Ahmad)
Karena itu, Nabi pun
tidak pernah berbohong kepada dirinya, umat, rakyat apalagi kepada Rabb-nya.
Bahkan, sekedar isyarat bohong pun, Nabi saw. tidak sanggup
melakukannya. Begitu rupa kejujuran Nabi saw.
Ketika Pemimpin Bohong
Bohong bagi individu
sangat berbahaya, karena itu Nabi saw. mengingatkan:
إِيَّاكُمْ وَالْكَذِبَ
فَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِي إِلَى الْفُجُوْرِ وَإِنَّ الْفُجُوْرَ يَهْدِي
إِلَى النَّارِ [رواه أبو داود]
“Kalian harus
berhati-hati dengan kebohongan, karena sesungguhnya bohong itu bisa mengantarkan
pada perbuatan dosa, dan perbuatan dosa itu bisa mengantarkan ke neraka.” (Hr. Abu Dawud)
Terlebih, jika yang
berbohong adalah pemimpin. Kebohongannya bukan hanya mengantar dirinya sendiri
melakukan perbuatan dosa, yang secara pribadi dia sendiri yang akan merasakan
dampaknya. Tetapi, karena dia pemimpin, maka kebohongannya akan menjerumuskan
orang lain yang dipimpinnya merasakan dampaknya.
Karena itu, pidato
Nabi di atas:
إنَّ الرَّائِدَ لاَ
يَكْذِبُ أَهْلَهُ.
“Sesungguhnya
seorang pemimpin tidak akan membohongi rakyatnya.”
Sekaligus menjadi
larangan, bahwa seorang pembohong tidak layak menjadi pemimpin. Tidak hanya
itu, kita juga diingatkan, agar juga tidak mengangkatnya menjadi pemimpin.
Itulah yang disabdakan oleh baginda Nabi saw. Wallahu a’lam.[]
sejarah dan ketauladanan nabi patut diikuti karena setiap sikap nya insyaallah mendapakan pahala..
BalasHapus